Rabu, 05 Desember 2012

sosiologi pendidikan


TUGAS SOSIOLOGI PENDIDIKAN
TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN



OLEH

NAMA       :        MIRA WAHYUNI
NIM/BP       :        54425 / 2010
JURUSAN   :        PG – PAUD REGULER MANDIRI



FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2012






BAB I

A.   Latar Belakang
Soerjono Soekanto menggunakan istilah “lembaga kemasyarakatan” untuk konsep social institution ini. Di samping itu ia juga menggunakan istilah  “bangunan social” untuk pengertian yang sama (1986 : 177). Pranata atau institusi sosial adalah sistim – sistim yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat untuk berinteraksi menurut pola – pola resmi. Beberapa definisi merupakan contoh dari sekian banyak definisi yang lebih menekankan pengertia “lembaga” secara lebih abstrak, yaknisebagai sistim nilai dan norma.
Pada awalnya Lembaga Sosial terbentuk dari norma-norma yang dianggap penting dalam hidup bermasyarakatan. Terbentuknya lembaga sosial berawal dari individu yang saling membutuhkan , kemudian timbul aturan-aturan yang disebut dengan norma kemasyarakatan.Suatu norma tertentu dikatakan telah melembaga apabila norma tersebut  diketahui, dipahami dan dimengerti, ditaati, dan dihargai
Tujuan lembaga kemasyarakatan ini adalah untuk memberikan pedoman pada anggota masyarakat, menjaga kebutuhan masyarakat, dan memberikan pegangan kepada masyarakat tentang lembaga masyarakat.


B.   Rumusan masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah menjelaskan pengertian lembaga sosial dan fungsi – fungsinya.
lembaga sosial itu terdiri dari lembaga agama, ekonomi, politik, pendidikan.
C.   Batasan masalah
Masyarakat kurang mempergunakan lembaga – lembaga masyarakat yang ada.

BAB II
Lembaga Kemasyarakatan
      I.            Pengertian Lembaga Kemasyarakatan
Lembaga kemasyarakatan merupakan terjemahan langsung dari istilah asing sosial- institution. Diantara para ahli sosiologi, belum ada kata sepakat perihal istilah Indonesia yang tepat untuk social institutions. Beberapa istilah telah dikemukakan antara lain Koentjaraningrat mengartikan istilah ini sebagai “pranata social”. Istilah ini hanya diartikan oleh para antropolog pada umumnya, tapi juga oleh sejumlah sosiolog dan ilmuwan sosial lainnya. Soerjono Soekanto menggunakan istilah “lembaga kemasyarakatan” untuk konsep social institution ini. Di samping itu ia juga menggunakan istilah  “bangunan social” untuk pengertian yang sama (1986 : 177). Pranata atau institusi sosial adalah sistim – sistim yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat untuk berinteraksi menurut pola – pola resmi. Jadi, lembaga kemasyarakatan ialah himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada kebutuhan pokok didalam kehidupan masyarakat.
   II.            Tujuan Lembaga Kemasyarakatan
Lembaga kemasyarakatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok manusia pada dasarnya memiliki fungsi, yaitu :
1.      Memberikan pedoman pada anggota masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan;
2.      Menjaga kebutuhan masyarakat
3.      Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial (social control). Artinya, sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.
Fungsi-fungsi diatas menyatakan bahwa apabila seseorang hendak mempelajari kebudayaan dan masyarakat tertentu, maka harus pula diperhatikan secara teliti lembaga-lembaga kemasyarakatan di masyarakat yang bersangkutan.
III.            Proses Pertumbuhan Lembaga Kemasyarakatan
a.       Norma-norma masyarakat
Supaya hubungan antar manusia didalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana dharapkan, maka dirumuskan norma-norma masyarakat. Mula-mula norma-norma tersebut terbentuk scara tidak sengaja. Namun lama kelamaan norma-norma tersebut dibuat secara sadar. Misalnya dahulu didalam jual beli, seorang perantara tidak harus diberi bagian dari keuntungan. Akan tetapi lama kelamaan terjadi kebiasaan bahwa perantara harus mendapat bagiannya, dimana sekaligus ditetapkan siapa yang menanggung itu, yaitu pembeli ataukah penjual. Contoh lain adalah perihal perjanjian tertulis yang menyangkut pinjam meminjam uang yang dahulu tidak pernah dilakukan. Norma-norma yang ada didalam masyarakat, mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Ada norma yang lemah, yang sedang sampai yang kuat daya ikatnya. Pada yang terakhir umumnya anggota-anggota masyarakat tidak berani melanggarnya. Untuk dapat membedakan kekuatan mengikat norma-norma tersebut, secara sosiologi dikenal adanya empat pengertian, yaitu:
a). Cara (usage)
b). Kebiasaan (Folkways)
c). Tata Kelakuan (Mores)
d). Adat Istiadat (Custom)
Cara (Usage) lebih menonjol didalam hubungan antar individu dalam masyarakat. Suatu penyimpangan terhadapnya tidak akan mengakibatkan hukum yang berat, akan tetapi hanya sekedar celaan dari individu yang dihubunginya. Misalnya, orang mempunyai cara masing-masing untuk minum pada waktu bertemu. Ada yang minum tanpa mengeluarkan bunyi ada pula yang mengeluarkan unyi sebagai tanda kepuasannya menghilangkan kehausannya. Dalam cara yang terakhir biasanya danggap sebagai perbuatan yang tidak sopan. Apabila perbuatan tersebut diperlakukan juga maka paling banyak orang yang diajak minum bersama akan merasa tersinggung dan mencela cara minum yang demikian.
Kebiasaan (Filkways) mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar dari pada cara. Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama, merupakan ukti bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut. Sebagai contoh, kebiasaan memberi hormat kepada orang lain yang lebih tua. Apabila perbuatan tadi tidak dilakukan, maka akan dianggap sebagai suatu penyimpanga terhadap kebiasaan umum dalam masyarakat. Kebiasaan mengormati orang yang lebih tua merupakan suatu kebiasaan dalam masyarakat dan setiap orang akan menyalahkan penyimpangan terhadap kebiasaan umum tersebut.
Norma-norma tersebut diatas telah mengalami suatu proses pada akhirnya akan menjadi bagian tertantu dari lembaga kemasyarakatan. Proses tersebut dinamakan proses pelembagaan (Institutionalization), yaitu suatu proses yang dilewatkan oleh suatu norma yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan. Yang dimaksud ialah, sampai norma itu oleh masyarakat dikenal, diakui, dihargai, dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari.
Mengingat adanya proses termaksud diatas, dibedakan antara lembaga kemasyarakatan sebagai peraturan (operative institutions). Lembaga kemasyarakatan dianggap sebagai peraturan apabila norma-norma tersebut membatasi serta mengatur prilaku orang-orang, misalnya lembaga perkawinan mengatur hubungan antara pria dengan wanita. Lembaga kekeluargaan mengatur hubungan antara anggota keluarga didalam suatu masyarakat.lembaga kewarisan mengatur proses beralihnya harta kekayaan dari suatu generasi pada generasi berikutnya.
Lembaga kemasyarakatan dianggap sebagai suatu yang sungguh-sungguh berlaku, apabila norma-normanya sepenuhnya membantu pelaksanaan pola-pola kemasyarakatan. Perilaku perseorangan yang dianggap sebagai peraturan merupakan hal sekunder bagi lembaga kemasyarakatan.

IV.            Social Control
Suatu proses pengadilan sosial dapat dilaksanakan dengan berbagai cara yang pada pokoknya berkisar pada cara-cara tanpa kekerasan (persuasive) ataupun dengan paksaan (Coersive). Cara mana yang sebaiknya diterapkan sedikit banyaknya juga tergantung pada faktor terhadap siapa pengendalian sosial tadi hendak diperlakukan dan didalam keadaan yang bagaimana. Didalam keadaan masyarakat yang secara relatife berada pada keadaan yang tentram, maka cara-cara persuasive mungkin akan lebih efektif dari pada penggunaan paksaan.
Karena didalam masyarakat yang tentram sebagian kaidah-kaidah dan nilai-nilai telah melembaga atau bahkan mendarah daging didalam diri warga masyarakat. Keadaan demikian bukanlah dengan sendirinya berarti bahwa paksaan sama sekali tidak diperlukan. Betapa tentram dan tenangnya suatu masyarakat, pasti akan dijumpai warga-warga yang melakukan tindakan-tindakan menyimpang.terhadap mereka itu kadang-kadang diperlukan paksaan, agar tidak terjadi kegoncangan-kegoncangan pada ketentraman yang telah ada.
Paksaan lebih sering diperlukan didalam masyarakat yang berubah, karena didalam keadaan seperti itu pengendalian social jugaberfungsi untuk membentuk kaidah-kaidah baru yang menggantikan kaidah-kaidah lamayang telah goyah. Namun demikian, cara-cara kekerasan ada pula batas – batasnya dan tidak selalu dapat diterapkan, karena biasanya kekerasan atau paksaan akan melahirkan reaksi negative, setidaknya secara potensial.
Reaksi yang negative akan selalu mencari kesempatan dan menunggu dimana saat Agent Of Social Control berada didalam keadaan lengah. Bila setiap kali paksaan diterapkan, hasilnyabukan pengendalian social yang akan melembaga, tetapi cara paksaanlah yang akan mendarah daging serta berakar kuat.
   V.            Ciri – ciri Umum  dan Tipe Lembaga Kemasyarakatan
a.Ciri-ciri umum lembaga kemasyarakatan
Gillin dan Gillin di dalam karyanya yang berjudul general Features Of social institutions, telah menguraikan beberapa cirri umum lembaga kemasyarakatan yaitu sebagai berikut:
·         Suatu lembaga kemasyarakatan adalah organisasi pola-pola pemikiran dan pola-pola prilaku yang terwujud melalui aktivitas-aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya.
·         Suatu tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri dari semua lembaga kemasyarakatan. Sistem-sistem kepercayaan dan aneka macam tindakan, baru akan menjadi bagian lembaga kemasyarakatan setelah melewati waktu yang relative lama.
·         Lembaga kemasyarakatan mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu. Mungkin tujuan-tujuan tersebut tidak sesuai atau sejalan dengan fungsi lembaga yang bersangkutan, apabila dipandang dari susut kebudayaan secara keseluruhan. Pembedaan antara tujuan dengan fungsi sangat penting oleh karena tujuan suatu lembaga adalah tujuan pula bagi golongan masyarakat bersangkutan pasti akan berpegang teguh kepadanya. Sebaliknya fungsi social lembaga tersebut, yaitu peranan lembaga tadi dalam sistem sisial dan kebudayaan masyarakat, mungkin tak diketahui atau disadari golongan masyarakat tersebut. Mungkin fungsi tersebut baru disadari setelah diwujudkan dan kemudian ternyata berbeda dengan tujuannya. Umpama lembaga perbudakan, ternyata bertujuan untuk mendapatkan tenaga buruh yang semurah-murahnya, tetapi didalam pelaksanaan ternyata sangat mahal.
·         Lembaga kemasyarakatan mempunyai alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan lembaga bersangkutan, seperti bangunan, paralatan , mesin, dan lain sebagainya. Bentuk serta cara penggunaan alat-alat tersebut biasanya berlainan antara satu masyarakat dengan masyarakat lain.
·         Lambang-lambang biasanya juga merupakan cirri khas dari lembaga kemasyarakatan. Lambang-lambang tersebut secara simblis menggambarkan tujuan dan fungsi lembaga yang bersangkutan.
·         Suatu lembaga kemasyarakatan mempunyai tradisi tertulis ataupun yang tidak tertulis, yang merumuskan tujuannya, tata tertib yang berlaku dan lain-lain. Tradisi tersebut merupakan dasar bagi lembaga itu didalam pekerjaannya memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat, dimana lembaga kemasyarakatan tersebut menjadi bagiannya.
VI.            Tipe – Tipe Lembaga Kemasyarakatan
Tipe-tipe lembaga kemasyarakatan, dapat diklasifikasikan dari berbagai sudut. Menurut Gillin dan Gillin, lembaga-lembaga kemayarakatan tadi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a). Grescive institutions dan Enacted Institutions, disebut juga sebagai lembaga primer, merupakan lembaga-lembaga yang secara tidak sengaja tumbuh dari adapt istiadat masyarakat.
b). Dari sudut sistem nilai-nilai yang diterima masyarakat, timbul klasifikasi atas Basic Institutions dan Subsidiary Institutions. Basic Institutions dianggap sebagai lembaga kemasyarakatan yang sangat penting untuk memelihara dan mempertahankan tata tertib dalam masyarakat.
c). Dari sudut penerimaan masyarakat dapat dibedakan Approved atau Social Sanctioned – Institutions dengan Unsanctioned Institutions. Approved atau Social Sanctioned Institutions, adalah lembaga-lembaga yang diterima masyarakat seperti misalnya sekolah, perusahaan dagang dan lain-lain. Sebaliknya adalah Unsanctioned Institutions yang ditolak oleh masyarakat, walaupun masyarakat kadang-kadang tidak memberantasnya. Misalnya kelompok penjahat, pemeras, pencoleng dan sebagainya.
d). Pembedaan antara General Institutions dengan restricted Institutions, timbul apabila klasifikasi tersebut didasarkan pada faktor-faktor penyebarannya. Misalnya agama merupakan suatu General Institutions, karena dekenal oleh hampir semua masyarakat dunia. Sedangkan agama-agama Islam, Protestan, Katolik, Budha dan lain-lainnya, merupakan restricted Institutions, oleh karena dianut oleh masyarat-masyarakat tertentu didunia ini.
e). Berdasarkan fungsinya terdapat pembedaan Operative Institutions dan regulative Institutions. Yang pertama berfungsi sebagai lembaga yang menghimpun pola-pola atau cara-cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan, seperti misalnya lembaga industrialisasi. Yang kedua, bertujuan untuk mengawasi adat-istiadat atau tata kelakuan yang tidak menjadi bagian mutlak lembaga itu sendiri. Suatu contoh adalah lembaga-lembaga hukum seperti kejaksaan, pengadilan dan sebagainya.
Klasifikasi lembaga masyarakat tersebut, menunjukkan bahwa di dalam setiap masyarakat akan dijumpai bermacam-macam lembaga kemasyarakatan. Setiap masyarakat mempunyai sistem nilai yang menentukan lembaga kemasyarakatan manakah yang dianggap sebagai pusat dan kemudian dianggap berada diatas lembaga-lembaga, kemasyarakatan lainnya.
Pada masyakat totaliter umpamanya negara dianggap sebagai lembaga kemasyarakatan pokok yang membawahi lembaga-lembaga lainnya seperti keluarga, hak milik, perusahaan, sekolah dan lain sbagainya. Akan tetapi dalam setiap masyarakat sedikit banyaknya akan dijumpai pola-pola yang mengatur ubungan antara lembaga-lembaga kemasyarakatan tersebut. Sistem pola-pola hubungan tersebut lazim disebut Institutions Configuration. Sistem tadi, dalam masyarakat yang masih homogen dan tradisional, mempunyai kecendrungan untuk bersifat statis dan tetap. Lain halnya dengan masyarakat yang sudah kompleks dan terbuka bagi terjadinya perubahan – perubahan social kebudayaan, sistem tersebut seringkali mengalami kegoncangan-kegoncangan. Karena dengan masuknya hal-hal yang baru, masyarakat biasanya juga mempunyai anggapan –anggapan baru tentang orma-norma yang berkisar pada kebutuhan pokoknya.

masalah yang terjadi di masyarakat
1.      Mendekati Ujian Nasional pada setiap tahunnya banyak oknum – oknum yang menjual kunci jawaban palsu. Sehingga siswa / siswi tergiur untuk membeli kunci jawaban tersebut biar pun harganya tinggi. Mereka beriur Rp. 50.000 / org untuk membeli kunci jawaban tersebut yang belum tentu benar jawabannya. Kepala sekolah, pengawas dan guru diharapkan lebih ketat mengawasi siswanya ujian.
2.      Maraknya aliran – aliran yang menyimpang dari ajaran Islam. Sehingga menimbulkan konflik antara umat beragama. Agama Non – Islam kurang menghargai agama Islam pada saat ini. Realita sekarang bahwa kurangnya kepercayaan kepada agama Islam karena aliran – aliran sesat tersebut.
3.      Konflik antar partai. Semakin banyaknya bermunculan partai – partai baru yang membuat tingginya persaingan di atara partai sehingga partai – partai tersebut melakukan persaingan secara tidak sehat / tidak sportif.











BAB III

DAFTAR PUSTAKA
Soekanto, Soerjono . 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Syamsir. Burmawi. 2003. Buku Ajar Pengantar Sosiologi . Universitas Negeri Padang
Horton, Hunt, 1992. Sosiologi 2, Erlangga, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar